Minggu, 29 Juli 2012
Sejarah Bedug
Saat masih kecil, keluargaku berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Selalu saja ada yang sama di kota-kota yang kudiami, yakni bunyi bedug pertanda waktu salat tiba. Kini aku tinggal di Surabaya. Bunyi bedug sudah jarang kudengar. Ya, kini bahkan masjid atau surau-surau di pelosok pun seringkali tak lagi memakai bedug dan menggantikannya dengan mikrofon.
Akankah lambat laun kita tak akan pernah lagi mendengar suara bedug di bumi Indonesia? Hanya waktu yang akan menjawab. Di bawah ini tulisan mengenai sejarah dan asal-usul bedug di Indonesia, kusarikan dari Majalah Intisari, Oktober 2008, dengan pengeditan tanpa mengubah esensi.
Bedug senantiasa dikaitkan dengan media panggil peribadatan. Ada pendapat tradisi bedug dikaitkan dengan budaya Cina. Adanya Bedug dikaitkan dengan ekspedisi pasukan Cheng Ho abad ke-15. Laksamana utusan kekaisaran Ming yang Muslim itu menginginkan suara bedug di masjid-masjid, seperti halnya penggunaan alat serupa di kuil-kuil Budha di Cina. Ada pula pendapat bedug berasal dari tradisi drum Cina yang menyebar ke Asia Timur, kemudian masuk Nusantara.
Namun menurut Drs M Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang yang melakukan studi bedug di Jawa bersama tim Sampoerna Hijau, pada masa prasejarah, nenek moyang kita juga sudah mengenal nekara dan moko, sejenis genderang dari perunggu. Pemakaiannya berhubungan dengan religi minta hujan.
Kata Bedug juga sudah disinggung dalam kidung Malat, sebuah karya sastra berbentuk kidung. Susastra kidung berisi cerita-cerita panji. Umunya ditulis pada zaman Mahapahit, dari kurun waktu abad ke 14-16 Masehi. Dalam Kidung Malat dijelaskan, instrumen musik membrafaon bedug dibedakan antara bedug besar yang diberi nama teg-teg dengan bedug ukuran biasa.
Bedug pada masa itu berfungsi sebagai alat komunikasi dan penanda waktu seperti perang, bencana alam, atau hal mendesak lainnya. Dibunyikan pula untuk menandai tibanya waktu. Maka ada istilah dalam bahasa Jawa: wis wanci keteg. Artinya "sudah waktu siang" yang diambil dari waktu saat tegteg dibunyikan.
Cornelis De Houtman dalam catatan perjalanannya D'eerste Boek menjadi saksi keberadaan bedug yang sudah meluas pada abad ke-16. Ketika komandan ekspedisi Belanda itu tiba di Banten, ia menggambarkan di setiap perempatan jalan terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan memakai tongkat pemukul yang ditempatkan di sebelahnya. Fungsinya sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas menunjuk pada bedug.
Kendati demikian, pengaruh Cina pun tidak dinafikan. Ditilik dari sisi konstruksi, teknik pemasangan tali/pasak untuk merekatkan selaput getar ke resonator pada bedug Jawa, mirip pada cara yang digunakan pada bedug di Asia Timur seperti Jepang, Cina, atau Korea. Bukti lain terlihat pada penampilan arca terakota yang ditemukan di situs Trowulan. Arca-arca prajurit berwajah Mongoloid itu tampak menabuh tabang-tabang, sejenis genderang yang terpengaruh budaya timur tengah. Kemungkinannya itulah instrumen musik yang dimainkan orang-orang Cina Muslim di ibukota Majapahit.
Menariknya, tabang-tabang sebenarnya merupakan instrumen musik yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha. Di dalamnya ada pengaruh kuat dari India dan budaya Semit beragama Islam. Namun diperkenalkan dan dimainkan oleh masyarakat Cina Muslim.
Jadi, bedug bisa dikatakan contoh perwujudan akulturasi budaya waditra (instrumen musik membrafon, di mana secara fisiografis terjadi perpaduan antara waditra membrafon etnik Nusantara dengan wadistra sejenis dari luar seperti India, Cina, dan Timur Tengah.
Perjalanan bedug memasuki tahapan penting ketika kemudian menjadi bagian dari tempat peribadatan umat Muslim. Tak ada yang dapat memastikan kapan dan bagaimana awalnya. Namun jika ingin menacu pada catatan Cornelis de Houtman, bisa dipastikan mulai terjadinya setelah abad ke-16. Bedug masuk ke masjid untuk melengkapi kentongan yang sudah ada sebelumnya. Pada beberapa masjid besar seperti masjid-masjid peninggalan Wali Songo, kedua alat ini ditemukan berdampingan, misalnya di Masjid Menara Kudus.
Ketika masuk ke tempat peribadatan, bedug yang semula profan memperoleh tempat terhormat. Di beberapa tempat seperti Masjid Agung Surabaya, Masjid Ciptarasa Cirebon, dan Masjid Agung Bagelen, bedug mendapat sebutan "Kyai atau "Sang". Kenyataan yang lain, bedug tua yang rusak juga tak segera disingkirkan, namun diganti bedug baru yang mendampinginya.
Pemakaian pengeras suara di masjid akhir-akhir ini telah meminggirkan peran bedug.
Sumber